MISI KERASULAN NABI MUHAMMAD SAW
1. Misi Nabi Muhammad SAW adalah
Menyempurnakan Akhlak
Selain mengemban misi reformasi akidah, Nabi Muhammad SAW juga mengemban misi reformasi akhlak. Seperti telah diketahui, bahwa keadaan akhlak bangsa Arab sebelum Nabi diutus adalah akhlak Jahiliyah. Perbuatan-perbuatan seperti mabuk-mabukan, berjudi, berzina, mengubur bayi perempuan hidup-hidup dianggap perbuatan biasa bahkan dianggap pula sebagai ukuran kehebatan seseorang. Mereka tidak menyadari bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan simbol masyarakat tidak beradab.
Selain mengemban misi reformasi akidah, Nabi Muhammad SAW juga mengemban misi reformasi akhlak. Seperti telah diketahui, bahwa keadaan akhlak bangsa Arab sebelum Nabi diutus adalah akhlak Jahiliyah. Perbuatan-perbuatan seperti mabuk-mabukan, berjudi, berzina, mengubur bayi perempuan hidup-hidup dianggap perbuatan biasa bahkan dianggap pula sebagai ukuran kehebatan seseorang. Mereka tidak menyadari bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan simbol masyarakat tidak beradab.
Ketika fajar
Islam mulai terbit kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut sedikit demi sedikit
dikikis. Islam mengajarkan bahwa mabuk-mabukan, berjudi dan berzina adalah
perbuatan tercela sehingga harus segera ditinggalkan. Islam mengajarkan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan Nabi mengangkat derajat
kaum wanita dengan sabdanya ”Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu”,
ataupun keutamaan berbakti kepada ibu. Nabi mengatakan hal itu di tengah-tengah
kaumnya yang tidak memberi penghormatan kepada kaum wanita. Kedatangan Nabi men
dorong kaumnya menjadi bangsa yang beradab dan berakhlak. Sabda beliau
Rasulullah SAW yang artinya : Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak. (HR. Ahmad).
Akhlak yang
baik (akhlakul karimah) merupakan landasan sekaligus
pengendali dalam melaksanakan semua aspek kehidupan seperti sosial, budaya,
politik, pendidikan, ekonomi dan lainnya.
Dalam
menyampaikan ajaran Islam termasuk aspek akhlak Nabi tidak hanya secara lisan,
tetapi juga dicontohkan langsung oleh Nabi atau keteladanan, beliau
sendiri mempraktekkan apa yang beliau ajarkan. Sehingga secara sukarela kaum
Muslimin mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran beliau dan terpatri kuat di
dalam lubuk hati. Sampai saat ini dan seterusnya walaupun Nabi sudah wafat 14
abad yang lalu, umatnya tetap konsekwen menjalankan ajaran-ajarannya.
Keteladanan Nabi diakui oleh Allah dalam firmanNya yang artinya :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu)
bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari Kiamat dan dia banyak
menyebut nama Allah (QS. Al Ahzab : 21)
Para sahabat
adalah manusia yang sangat beruntung karena diperkenankan mencontoh langsung
budi pekerti agung Rasulullah. Sebuah hadits yang dikeluarkan oleh sahabat Anas
RA mengatakan : Rasulullah SAW adalah manusia yang terbaik akhlaknya. (HR.
Muttafaq ’Alaih)
Keteladanan
akhlak hanya lahir dari sosok yang berakhlak agung, budi pekerti luhur sudah
mendarah daging baginya, yakni Rasulullah SAW, seperti dinyatakan pada
ayat berikut ini yang artinya : Dan sesungguhnya kamu (Muhammad)
benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al Qalam : 4)
Nabi
Muhammad SAW telah membimbing umat manusia mencapai derajat kemuliaan dengan
akhlak yang dimilikinya. Dengan kemuliaan akhlaknya seseorang dapat diterima
dengan mudah dalam pergaulan sehingga dia dapat menyumbangkan kemampuannya.
Akhirnya dia menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Nabi pernah
bersabda yang artinya : Orang yang terbaik di antara kamu adalah yang paling
bermanfaat bagi orang lain. (Al Hadits)
2. Nabi
Muhammad SAW sebagai Rahmat bagi Alam Semesta
Sebagaimana
telah dipelajari pada semester I, bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW bersifat
universal atau berlaku untuk semua umat manusia bahkan seluruh alam semesta
(rahmatan lil ’alamin) sampai akhir jaman. Sebagaimana firman Allah SWT yang
artinya : Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (QS. Al Anbiya : 107)
Ayat
tersebut mengandung arti bahwa rahmat ajaran Nabi Muhammad SAW tidak hanya
diperuntukkan dan dirasakan oleh kaum muslimin tetapi oleh seluruh umat manusia
bahkan makhluk Allah selain manusia. Ajaran Islam penuh kedamaian, memberikan
rasa keadilan bagi sesama.
Aspek akidah
merupakan rahmat terbesar. Seseorang yang akidahnya kokoh akan melandasi
aspek-aspek kehidupan lainnya. Pada aspek akidah, Nabi telah mengembalikan
kemurnian ajaran tauhid yang dibawa oleh Rasul-rasul sebelumnya, sekaligus
mengkoreksi semua penyimpangan akidah seperti penyembahan berhala dan praktek
kemusyrikan lainnya. Akidah dikembalikan pada hakekat semula yakni tiada tuhan
selain Allah. Dengan demikian Nabi telah melakukan reformasi akidah secara
total, sehingga orang-orang yang menerima, meyakini dan mengamalkan ajaran
Nabi berarti sudah kembali ke alam tauhid dan selamat dari jurang
kemusyrikan.
Dengan
akidah tauhid umat manusia dipersatukan oleh satu keyakinan yaitu akidah
Islamiyah. Semua manusia sama kedudukannya di mata Allah, yang membedakannya hanyalah
ketaqwaannya, sebagaimana firman Allah yang artinya ” Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa”. Berdasarkan ayat ini jurang
pemisah antara si kaya dan si miskin tidak ada lagi, demikian juga penindasan
golongan. Inilah rahmat yang dapat dirasakan secara semesta.
Pada ayat
lain Allah SWT berfirman yang artinya : ... Dan Kami tidak mengutus kamu
(Muhammad) melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. (QS.
Al Isra : 105)
Di dalam
ayat Al Quran banyak disebutkan tentang kabar gembira (basyiran), seperti
balasan surga bagi orang-orang beriman di akhirat nanti. Kabar ini memberikan
motivasi kepada umat Islam untuk mengamalkan ajaran Islam secara benar. Di sisi
lain banyak pula disebutkan tentang peringatan (nadziran) seperti siksa akhirat
bagi mereka yang melanggar syariat Islam.
Nadziran ini
menjadi pengendali bagi umat Islam untuk tidak melakukan perbuatan yang
melanggar syariat Islam. Antara basyiran dan nadziran ini sebaiknya
berjalan bersama untuk menjaga keseimbangan antara motivasi dan pengendali.
Dengan adanya keseimbangan ini umat Islam tetap bersemangat dalam menjalankan
syariat Islam secara konsekwen namun tetap berhati-hati agar tidak melakukan
pelanggaran syariat.
Dapat
disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok pemurni akidah, penyempurna
akhlak, teladan terbaik dan penerang semesta alam dengan semua ajarannya yang
paripurna, berlaku untuk seluruh umat manusia dan makhluk Allah yang lain.
3.
Meneladani Perjuangan Nabi dan Para Sahabat dalam Menghadapi Masyarakat
Makkah
Secara garis
besar dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah dibagi menjadi dua bagian, yaitu
dakwah secara sembunyi-sembunyi dan dakwah secara terang-terangan. Dakwah
secara sembunyi dimulai setelah wahyu kedua turun, yaitu surat Al Mudatstsir 1
– 7 yang artinya : Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah
peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan
dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah)
Tuhanmu bersabarlah. (QS. Al Mudatstsir: 1 – 7).
Nabi
menyadari benar bahwa kondisi umat Islam waktu itu masih lemah, oleh karena itu
dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam, dari pintu ke
pintu dan dari mulut ke mulut. Kegiatan dakwah dipusatkan dirumah Arqam bin Al
Arqam. Pada saat akan melaksanakan ibadah, mereka harus mengambil tempat yang
tersembunyi di luar Makkah untuk menghindari gangguan dari kaum Quraisy. Sahabat
Nabi Muhammad SAW yang masuk Islam pada periode ini adalah Khadijah, Ummu Aiman
dan Fatimah bin Khaththab dari golongan wanita; Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin
Harits dari golongan anak-anak; Abu Bakar, Utsman bin Affan,
Abdurrahman bin ’Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqash, Zubair bin
Awwam, Abu Ubaidah bin Jarrah, Arqam bin Abil Arqam, Said bin Zaid Al Adawi,
dan beberapa sahabat lainnya. Para sahabat tersebut dijuluki dengan
”Assabiqunal Awwalun” atau orang-orang yang pertama masuk Islam. Dakwah dengan
secara sembunyi-sembunyi ini berlangsung selama tiga tahun.
Tidak lama
kemudian turunkan wahyu yang memerintahkan Nabi Muhammad SAW berdakwah secara
terang-terangan, yakni surat Asy-Syu’ara ayat 214 – 216 : yang artinya Dan
berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu
kepada orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman, jika mereka
mendurhakaimu, katakanlah : ”Sesungguhnya aku tidak bertanggungjawab terhadap
apa yang kamu kerjakan”. (QS. Asy-Syu’ara ayat 214 – 216)
Dan surat Al
Hijr ayat 94 yang artinya: Maka sampaikanlah olehmu secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari
orang-orang yang musyrik. (QS. Al Hijr : 94)
4.
Konsep Muhammad Saw Sebagai Penutup Para Nabi Serta Implikasinya Dalam
Kehidupan Sosial Serta Keagamaan
Dalam
sangkutannya dengan Nabi, praktek tabanni (yang beliau lakukan
untuk bekas budaknya yang dimerdekakan oleh beliau sendiri, Zayd
[ibn Haritsah]) mengakibatkan sebutan Nabi
sebagai "bapak" seseorang diantara kaum beriman, yaitu Zayd
(maka ia disebut Zayd ibn Muhammad), dengan mengesampingkan kaum
beriman yang lain. Maka firman Allah mengenai hal ini terbaca:
"Muhammad itu bukanlah bapak seseorang dari antara kaum lelakimu,
melainkan Rasul Allah dan penutup para Nabi." Kemudian, mendahului firman
itu terbaca firman: "Nabi lebih berhak atas kaum beriman
daripada diri mereka sendiri, dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu
mereka..." Sudah tentu yang dimaksud bahwa
isteri-isteri Nabi itu adalah
ibu-ibu kaum
beriman ialah dalam pengertian spiritual. Maka Nabi sendiri, sementara
dinyatakan sebagai bukan bapak salah seorang diantara kaum
beriman, adalah bapak (spiritual) seluruh kaum
beriman, yakni, panutan mereka semua. Inilah yang dapat kita simpulkan
dari rangkaian firman-firman yang relevan. Muhammad
Asad menjabarkan bahwa penegasan itu mengandung
arti penolakan kepada pandangan bahwa adanya
hubungan fisik (keturunan) dengan Nabi mempunyai
makna spiritual tersendiri; sebaliknya, karena hubungan kebapakan
kepada Nabi dan keibuan kepada para isteri beliau itu harus dipahami
hanya sebagai hubungan spiritual (dan mustahil
sebagai hubungan fisikal), maka kedudukan seluruh kaum beriman
dalam hal ini di hadapan beliau adalah mutlak sama. Pengertian
ini lebih-lebih lagi sangat logis karena Nabi Muhammad saw
adalah Utusan Allah yang terakhir.
Untuk
pengertian "penutup" itu al-Qur'an menggunakan istilah
"khatam," yang secara harfiah berarti "cincin," yaitu
cincin pengesah dokumen (seal, stempel), sebagaimana Nabi Muhammad
sendiri juga memilikinya (antara lain beliau
pergunakan mereka yang sahkan surat-surat yang beliau kirim
ke para penguasa sekitar Jazirah Arabia saat itu). Jadi fungsi Nabi
Muhammad saw terhadap para Nabi dan Rasul sebelum
beliau ialah untuk memberi pengesahan kepada kebesaran, kitab-kitab suci, dan
ajaran mereka. Hal ini tersimpul dari penjelasan tentang kedudukan
al-Qur'an terhadap kitab-kitab suci yang lalu, yaitu sebagai pembenar
(mushaddiq) dan penentu atau penguji (mahaymin),
disamping sebagai pengoreksi (furqan) atas penyimpangan
yang terjadi oleh para pengikut
kitab-kitab itu. Penegasan itu kita dapatkan dalam al-Qur'an dalam deretan
keterangan tentang kaum Yahudi dan Kristen, disertai
harapan agar mereka benar-benar menjalankan ajaran agama mereka
masing-masing dengan baik, dan dirangkaikan
dengan penegasan pluralitas kenyataan
hidup manusia, termasuk dan terutama hidup
keagamaannya. Di sini akan dikutip deretan firman itu,
karena amat patut (dan di zaman sekarang cukup mendesak) untuk disimak dan
direnungkan akan makna dan semangatnya.
Mereka
(kaum Yahudi) itu suka mendengarkan kedustaan dan memakan
harta terlarang. Kalau mereka datang
kepadamu (Muhammad) maka buatlah keputusan
hukum antara mereka (berkenaan dengan perkara
yang menyangkut mereka), atau berpalinglah dari mereka. Jika
engkau berpaling dari mereka, maka mereka tidaklah akan merugikan engkau
sedikitpun juga Dan jika engkau buat keputusan hukum, maka buatlah
keputusan hukum itu antara mereka dengan adil.
Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berbuat keadilan. Tetapi bagaimana mereka akan
meminta hukum kepadamu, padahal mereka punya Taurat yang didalamnya ada hukum
Allah kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari
keputusanmu). Mereka bukanlah kaum yang (benar-benar) beriman.
Sesungguhnya
Kami (Tuhan) telah menurunkan Kitab Taurat yang didalamnya ada
hidayah dan cahaya, yang dengan Taurat itu para Nabi
yang berserah diri (kepada Allah)
membuat keputusan hukum untuk mereka yang beragama Yunani, demikian
pula mereka yang ber-Ketuhanan (rabbaniyyun)
dan para pendeta mereka, karena perintah agar mereka memelihara
kitab Allah, dan mereka menjadi saksi atas hal itu. Maka janganlah kamu takut
kepada manusia, melainkan takutlah kepada-Ku, dan jangan pula kamu menjual
ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak
menjalankan hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah kaum yang
kafir.
Dan telah
kami tetapkan bagi mereka (kaum Yahudi) dalam
Taurat bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, kuping dengan kuping, gigi dengan
gigi, dan luka pun ada balasannya.
Namun barangsiapa melepaskan haknya (untuk membalas), maka
hal itu menjadi penebus bagi (dosa)-nya. Dan
barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan Allah maka
mereka adalah kaum yang zalim.
Dan
Kami susuli atas jejak mereka dengan Isa putera Maryam sebagai pendukung
bagi kitab yang ada sebelumnya, yaitu
Taurat. Dan Kami karuniakan kepadanya Injil, didalamnya ada hidayah dan
cahaya, sebagai mendukung kebenaran kitab yang ada,
yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk dan nasihat bagi mereka
yang bertaqwa.
Karena itu
hendaknyalah para penganut Injil itu menjalankan hukum
dengan apa yang diturunkan
Allah didalamnya. Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan
yang diturunkan Allah maka mereka adalah kaum yang fasik.
Dan
Kami turunkan kepada engkau (Muhammad) dengan benar,
sebagai pendukung bagi yang
ada sebelumnya, yaitu kitab-kitab suci
(terdahulu) dan sebagai penentu (kebenaran kitab yang lalu
itu). Maka jalankan hukum dengan yang
diturunkan Allah, dan jangan mengikuti keinginan
mereka sehingga menyimpang dari yang datang kepada engkau,
yaitu kebenaran. Untuk masing-masing dari kamu (ummat
manusia) telah Kami tetapkan tatanan hukum (syir'ah, syari'ah)
dan jalan hidup (minhaj). Jika seandainya Allah
menghendaki, maka tentu akan dijadikannya kamu
sekalian ummat yang tunggal. Tetapi Dia
hendak menguji kamu berkenaan dengan hal-hal yang
telah dikaruniakan kepada kamu.
Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada
Allah tempat kembalimu semua, maka Dia akan
menjelaskan kepadamu tentang perkara yang pernah kamu
perselisihkan.
Penafsiran
terhadap ayat-ayat Ilahi ini amat
baku di kalangan para ahli dan 'ulama.
Pertama, dalam firman itu terdapat penegasan bahwa para penganut agama, dalam
hal ini Yahudi dan Kristen, harus menjalankan ajaran kebenaran yang
diberikan Allah kepada mereka melalui kitab-kitab mereka,
berturut-turut Taurat dan Injil.
Kalau mereka tidak melakukan hal itu, maka mereka
adalah kafir dan zalim. Kedua, al-Qur'an
mendukung kebenaran dasar ajaran-ajaran dalam
kitab-kitab suci itu, tapi juga mengujinya
dari kemungkinan pengimpangan oleh
para pengikutnya. Jadi al-Qur'an mengajarkan tentang kontinuitas
agama-agama Tuhan -sebagaimana banyak ditegaskan di berbagai tempat lain
dalam al-Qur'an- sekaligus ajaran tentang perkembangan agama-agama Tuhan itu
dari masa ke masa.
Segi
kebenaran yang didukung dan dilindungi oleh al-Qur'an ialah kebenaran
asasi yang menjadi inti semua agama Allah, khususnya
Tawhid atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Inti agama yang umum itu
dinyatakan dalam istilah Arab al-din, yang seperti
dijelaskan oleh Muhammad Asad mengandung makna kebenaran-kebenaran
agama/spiritual yang asasi dan tidak berubah-ubah, yang
menurut al-Qur'an diajarkan kepada setiap Utusan Allah. Jadi semua Nabi dan
Rasul membawa ajaran inti keagamaan (din) yang sama, kecuali
jika diselewengkan atau diubah oleh para pengikutnya. Namun
para Nabi dan Rasul tidak membawa sistem hukum
(syir'ah, syari'ah) ataupun cara hidup (minhaj, way of life) yang sama.
Perbedaan dalam segi ini membawa kepada adanya kenyataan plural agama-agama,
yang sepanjang ajaran al-Qur'an tidak perlu kita
persoalkan, karena itu sudah menjadi
kehendak Allah (Dia tidak menghendaki masyarakat tunggal
manusia), dan Allah pula yang akan menjelaskan adanya perbedaan ini.
Dari
urutan dan logika ajaran al-Qur'an itu dapat dilihat letak
pandangan bahwa al-Qur'an adalah kulminasi semua kitab suci, dan bahwa
penerimanya, yaitu Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan Rasul. Sebab
ajaran yang dibawakannya adalah perkembangan
akhir dari semua agama, menuju
kesempurnaan. Maka Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi juga
berarti bahwa beliau diutus untuk sekalian
ummat manusia:
Katakan
olehmu (Muhammad): "Wahai sekalian ummat manusia!
Sesungguhnya aku adalah Utusan Allah kepada kamu sekalian, yang
bagi-Nya kekuasaan seluruh langit dan bumi; tiada Tuhan selain Dia
yang menghidupkan dan mematikan." Maka sekarang berimanlah kamu sekalian
kepada Allah dan kepada Rasul-Nya yang tak
pandai baca tulis itu, yang beriman kepada
firman-firmanNya. Ikutilah dia, agar
kamu mendapatkan petunjuk.
Firman
ini, dilihat dari letaknya, merupakan interpolasi atas
deretan keterangan tentang Nabi Musa dan
keturunan Israel. Maksudnya ialah
menjelaskan bahwa sementara Nabi-nabi terdahulu dan
ajaran-ajaran yang dibawanya tertuju khusus kepada bangsa, tempat dan
zaman tertentu, namun Nabi Muhammad dan al-Qur'an tertuju kepada seluruh ummat
manusia, tanpa terikat oleh bangsa, tempat maupun zaman
tertentu. Sebab sesudah Nabi Muhammad saw tidak akan lagi ada
Nabi, dan sesudah al-Qur'an tidak diturunkan lagi kitab suci. Oleh karena itu
Nabi Muhammad saw juga disebut sebagai bukti rahmat atau
kasih Allah kepada seluruh alam, khususnya seluruh
ummat manusia.
Dan tidaklah
Kami mengutus engkau (hai Muhammad) melainkan sebagai
rahmat untuk sekalian alam. Katakan
(olehmu, Muhammad), "Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa
Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Apakah kamu
bersedia tunduk (Islam) kepada-Nya?" Kalau mereka berpaling,
maka katakana olehmu, "Ku telah sampaikan hal ini kepada kamu
semua tanpa perbedaan. Dan aku tidak tahu apakah dekat
(segera) atau jauh (terjadinya) apa yang
dijanjikan kepada kamu (oleh Tuhan) itu.
Jadi paham
Tawhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti ajaran
al-Qur'an, sebagaimana juga inti ajaran para Nabi yang lain.
Kita diperintahkan untuk tunduk (Islam) kepada
Tuhan Yang Maha Esa itu. Dan
ajaran inti ini telah disampaikan Nabi
kepada ummat manusia tanpa perbedaan.
Dengan
kata-kata lain, ajaran adalah universal. Muhammad Asad
menjelaskan segi-segi yang mendukung universalitas
al-Qur'an, yaitu, pertama, seruan al-Qur'an tertuju kepada seluruh
ummat manusia, tanpa mempedulikan keturunan, ras dan
lingkungan
budayanya: kedua, fakta bahwa al-Qur'an menyeru semata-mata
kepada amal manusia dan karenanya,
tidak merumuskan dengan yang bisa diterima atas dasar kepercayaan buta
semata; dan akhirnya, fakta bahwa -berbeda dari semua kitab
suci yang diketahui dalam sejarah- al-Qur'an tetap
seluruhnya tak berubah dalam
kata-katanya sejak ia diturunkan dalam belasan
abad yang lalu dan akan selamanya demikian keadaannya, karena ia
diantara sedemikian luas, sesuai dengan janji Illahi. "Dan
Kami-(Tuhan)-lah yang pasti menjaganya" (QS. al-Hijr/15:9). Berdasarkan
tiga daftar isi muka al-Qur'an merupakan tahap akhir wahyu
Tuhan, dan Nabi. Muhammad adalah penutup segala Nabi
0 komentar:
Posting Komentar